PSIKOANALISIS FREUD

Freud adalah bapak psikoanalisis yang memulai perjalanan ilmunya dari basis neurotika (penelitian analitik terhadap otak sebagai medium fikiran) menuju pemodelan fikiran itu sendiri (teori Psikoanalisis Kompleks) guna mencari solusi terhadap ekses tingkah laku / prilaku sosial (behaviour).
Dalam penelitian neurotika-nya, freud memunculkan teori Cerebral Paralysis, sebuah teori yang mencari asal-usul prilaku menyimpang (disorder) secara biologis (otak sebagai subyek pembelajaran-The Brain). Teori ini berujung pada penemuan macam2 penyimpangan perkembangan otak seperti kekurangan kadar oksigen, dan macam2 Biologis Kompleks lainnya.
Setelah terjadinya beberapa kasus kegagalan pengobatan biologis, Freud mulai melirik alam bawah sadar (unconscious mind) sebagai subyek utama pembuat masalah neurotik sekaligus potensi terbesar penawar solusi-nya. Karenanya dalam proses penyembuhan masalah2 ke-jiwa-an sangatlah penting untuk melibatkan alam bawah sadar pasien. Untuk melakukannya, Freud memperkenalkan metode penggunaan morfin, terutama kokain sebagai medium paling efisien (lebih efisien dari metode hipnotis yang biasa dilakukan sebelumnya). Metode ini terus mengalami perkembangan pesat hingga terjadinya the cocaine incident, sebuah kasus cocaine psychosis akut (ketidak setimbangan antara kebutuhan fikiran akan kokain sebagai medium penyembuhan, dan ketidak mampuan otak dan badan pasien secara biologis untuk menerima kokain) yang mengakibatkan kematian Fleischl-Marxow, seorang pasien sekaligus teman dekat Freud. Pasca insiden ini, Freud mulai mengembangkan konsep pemodelan (filsafat) psikoanalisis sebagai alternatif lain dalam usaha memahami sistim kerja fikiran The Mind.
Psikoanalisis sendiri pada awalnya merupakan metode penyembuhan yang dikenalkan oleh Joseph Breuer dengan cara pembentukan visualisasi alam bawah sadar pasien dengan melakukan analisa terhadap proyeksi fikiran pasien ketika mengalami fase States of Absence. Satu kasus yang sangat terkenal adalah kasus Anna O yang ditangani Breuer dan Freus pada tahun 1880. Anna O mengalami gejala conversion disorder (paralysis of the limbs, split personality, amnesia). Secara biologis gejala ini tidak dapat dipetakan dengan tepat, tetapi secara psikoanalisis Freud menemukan bahwa memang ada koneksi antara prilaku penyimpangan tersebut dengan penyakit yang menewaskan ayah Anna O.
Kasus Anna O
Anna O. adalah nama samaran untuk Bertha Pappenheim, seorang pasien yahudi yang menjadi subyek penelitian Sigmund Freud bersama Josef Breuer selama 2 tahun lamanya, antara tahun 1880-1882. Seperti yang telah dijelaskan diatas, Anna O mengalami conversion disorder, sebuah gangguan psikis yang terkonversi menjadi wujud penyakit fisik, dengan simptom utama epilepsi dan kelumpuhan parsial pada salah satu lengannya.
Anna O dibawa ke Breur dan Freud setelah dokter anatomi gagal mendiagnosa penyakit Anna, lantaran secara jasmaniah Anna memang tidak memiliki gangguan biologis apapun. Selama 2 tahun lamanya Freud dan Breuer melakukan penelitian kejiwaan dan mencoba untuk ’ masuk’ kedalam fikiran Anna melalui metode apa yang saat itu mereka sebut dengan istilah ‘the talking cure’ (cikal bakal psikoanalisis). Semua proses tesebut direkam ke dalam sebuah catatan yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul ’Studies on Hysteria’.
Anna adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya bernama Henriette (meninggal umur 18tahun) dan Flora (meninggal umur 2tahun), adiknya bernama Wilheilm. Sepeninggalan kakak2nya, Anna menjadi sangat2 dekat dengan ayahnya hingga akhirnya beberapa tahun kemudian ayahnya pun turut meninggal dunia meninggalkannya bertiga bersama ibu dan adiknya. Anna tidak pernah dekat dengan ibunya karena (menurut alam bawah sadar Anna) ibunya terlalu sibuk mengurusi Wilhem. Dan selama menjalani proses talking cure, Freud dan Breuer akhirnya menemukan titik cerah ketika dalam kondisi setengah sadar (states of abscence) Anna bercerita bagaimana sebenarnya sebelum meninggal dunia, Anna sempat bertemu dengan ayahnya, dan bagaimana sebenarnya ayah Anna meninggal di dalam dekapan lengannya. Anna mengalami proses guilt yang amat berat hingga lengannya itupun menjadi lumpuh. Pada tahun 1882 kelumpuhan tangan Anna dapat disembuhkan setelah the talking cure berhasil me-rekonsiliasi-kan rasa guiltnya. Tetapi dalam beberapa bulan berikutnya penyakit epilepsi lama Anna kambuh hingga ia pun harus kembali menjalani terapi di rs jiwa Bellevue (1882), dan Inzerdorf (1883-1888).
Unconsciousness (Teori Topografi)
Alam bawah sadar (Unconsciousness) dapat dikatakan sebagai setting yang melandasi seluruh teori psikoanalisis Freud. Kasus Anna O membuktikan bahwa fikiran manusia memang memiliki sebuah sistem bawah sadar dengan kekuatan jauh lebih besar dari alam sadar itu sendiri, hingga gangguan yang terjadi di dalam alam bawah sadar, bahkan dapat berakibat fatal pada kondisi jasmani seseorang. Satu hal yang paling menarik dari Freud hingga seringkali disejajarkan dengan filsuf2 besar (non-psikolog) lainnya adalah kepercayaannya bahwa dengan sedemikian hebatnya kekuatan alam bawah sadar, maka pemahaman terhadap Unconsciousness adalah salah satu kunci penting dalam gerakan Enlightment (Aufklarung) dalam mencari pencerahan tatanan sosial kemasyarakatan dunia yg lebih adil. Menurut Freud, pencerahan harus dimulai dari satuan individu per individu, dan penguasaan alam bawah sadar masing-masing individu itulah yang akan menjadi landasan utama dalam membangun society baru yang lebih tertata. Dan untuk bisa melakukannya, masing-masing individu harus mampu ‘menguasai’ alam bawah sadarnya dan bukannya justru membuka konfrontasi atau menekannya.
the ideals of the Enlightenment, Positivism and Rationalism, could be achieved through understanding, transforming, and mastering the unconscious, rather than through denying or repressing it
Contoh: seseorang mangalami depresi akut. Rasa depresi ini mulai mengganggu dan menjadi masalah ketika orang tersebut secara sadar dapat merasakan keberadaan ke-depresi-annya. Dengan asumsi struktur pemikiran yang terbagi menjadi alam sadar dan bawah sadar, maka keberadaan depresi di alam sadar juga merupakan tanggung jawab dari depresi yang tercipta di alam bawah sadar. Pada dasarnya, kita tidak bisa menghilangkan rasa depresi dari fikiran kita, karena rasa depresi biasanya berkaitan erat dengan pengalaman hidup di masa lampau (sudah terjadi) yang telah megendap untuk waktu yang sangat lama. Tetapi kita bisa berkompromi dengan alam bawah sadar untuk menghilangkan efek depresi di alam sadar. Atau dengan kata lain, kita bisa berdamai dengan pengalaman masa lampau yang tersimpan rapi di dalam alam bawah sadar. Ketika hal ini berhasil dilakukan, rasa depresi tadi akan tetap ada dalam fikiran bawah sadar, namun secara sadar, posisinya menjadi HANYA sebagai ingatan (memory) akan kejadian masa lampau tanpa ada penekanan emosional apapun.
Untuk memperdalam konsepsi alam bawah sadar, secara konseptual, Freud mengajukan model topologi psikoanalisis. Sebuah konsep fikiran sebagai lapisan2 kesadaran. Konsep ini berisi dua kutub ekstrim yang saling berlawanan -alam sadar (Consciousness) dan bawah sadar (Unconsciousness)- serta alam prasadar (Preconsciousness) yang berada diantara keduanya. Dengan adanya teori topologi, melogika-kan alam bawah sadar yang cenderung bersifat irrasional menjadi tujuan baru psikoanalisis.
Konsep Unconsciousness Freud sebagian besar terangkum dalam bukunya The Intrepretation of Dreams. Buku ini menggambarkan bagaimana mimpi merupakan bentuk wishfulfillment, sehingga dengan melakukan tafsir mimpi kita bisa memetakan apa yang sedang terjadi pada alam bawah sadar kita
In the following pages, I shall demonstrate that there is a psychological technique which makes it possible to interpret dreams, and that on the application of this technique, every dream will reveal itself as a psychological structure, full of significance, and one which may be assigned to a specific place in the psychic activities of the waking state. Further, I shall endeavour to elucidate the processes which underlie the strangeness and obscurity of dreams, and to deduce from these processes the nature of the psychic forces whose conflict or co-operation is responsible for our dreams
Buku ini banyak melakukan tafsir mimpi (baik milik pasien2 Freud maupun miliknya sendiri) dengan salah satu kasus yang paling terkenal Irma’s Injection. Namun hipotesis tafsir mimpi seringkali diragukan keabsahannya karena sangat susah untuk membuktikan ke-ilmiah-annya. Tetapi setidaknya Tafsir Mimpi cukup memberi bukti bahwa dibalik semua spirit materialisme aufklarung yang mang-agung2-kan nilai2 logika (rationalism-positivism), fikiran ternyata juga memiliki sisi bawah sadar yang ironisnya sangat tidak logis. Dan Freud pun tidak berhenti disini. Dengan landasan pemikiran Unconsciousness-nya, Freud mulai mengenalkan konsepsi2 lain yang jauh lebih kompleks.
Psychosexual Complex dan Oedipus-Elektra Complex
Freud percaya bahwa keberadaan alam bawah sadar sangat dipengaruhi oleh hal2 yg tidak bisa secara sadar ‘dikuasai’ oleh manusia. Mimpi adalah satu contoh awal yg dihadirkan Freud, dimana dalam tidurnya manusia memang tidak bisa mengendalikan dunia mimpinya. Lalu bagaimana dengan manusia dalam keadaan sadar? Adakah hal2 yg tetap tidak bisa atau setidaknya sangat2 susah untuk dikendalikan oleh manusia bahkan di alam sadarnya sekalipun? Freud pun mengajukan sex melalui medium hipotesis Psychosexual Complex sebagai jawabannya.
Menurut hipotesis ini, seiring dengan pertumbuhan biologis organ2 fisik manusia, fikiran manusia juga berkembang dalam sebuah pola evolusi tertentu. Kalau pertumbuhan biologis merupakan derivasi dari perkembang-biakan sel2tubuh, maka evolusi pemikiran merupakan derivasi dari perubahan faktor ke-puas-an diri (libido). Menurut Freud, libido berhubungan erat dengan faktor Polymorphously Perverse atau segala bentuk pe-muas-an hasrat. Dalam implementasinya terhadap hipotesis evolusi pemikiran manusia, faktor hasrat ini dimulai dengan hal2 yang bersifat sangat2 biologis seperti bayi dan hasratnya untuk meminum asi, hingga ia mulai mengenal makanan dan minuman berbagai rasa (libido mulai beragam). Fase ini kemudian berkembang terus (sesuai dengan perkembangan doktrin moral / totem-taboo lingkungan sekitar) untuk menjadi semakin spesifik hingga mencapai titik puncak(maksimum)nya (Jung menyebutnya titik individuation-akan dibahas lebih lanjut) menjadi sesuatu yang bersifat sangat2 materialistis seperti manusia dewasa yang menginginkan kekayaan, tahta, atau yang lebih susah untuk dikontrol bersifat sangat2 sexual (libido lebih bersifat psikis). Setelah mencapai titik puncaknya, libido akan mulai menurun kembali ketitik Polymorphously Perverse asalnya (Polymorphously Perverse Reverse), membentuk sebuah pola parabola negatif dengan individuation sebagai poin maksimumnya, persis seperti perkembangan biologis fisik manusia yang akan terus berkembang menjadi semakin kuat hingga ia mencapai satu titik balik dan mulai kembali melemah.
Untuk memperjelas proses perkembangan libido diatas, Freud mengajukan konsepsi pola evolusi fikiran manusia dalam bentuk Psychosexual Complex. Dalam konsepsi ini, Freud membagi pola evolusi fikiran menjadi 5 fase.
Fase pertama, Oral Stage, adalah fase dimana bayi hanya bisa meresponse aksi-reaksi libido secara oral searah (belum ada komunikasi denga dunia luar termasuk ibu). Fase kedua, Anal Stage, adalah fase dimana balita mulai mengenal respons2 anal dan mulai belajar untuk berkomunikasi dengan orang2 terdekatnya (ayah, ibu, kakak, dll). Fase ketiga, Phallic Stage, salah satu fase terpenting dalam konsepsi psychosexual complex Freud, adalah fase dimana anak2 mulai mengenal respons seksual dalam bangunan psikis alam sadar mereka. Fase ini sangat penting karena perkembangannya akan sangat mempengaruhi ’kedewasaan’ seluruh bangunan psikis masa dewasa(Individuation)nya kelak. Freud bahkan percaya bahwa sebagian besar penyimpangan psikis berawal dari memory kasus2 pada masa ini. Adalah pada masa ini dimana seorang anak mulai menemukan IBU sebagai tujuan seksualnya (bukan dalam arti harfiah) atau yang dikenal dengan fase Oedipus Complex. Pada masa ini jugalah anak mulai menemukan penolakan (denial) atas tujuan (seksual) psikisnya, penolakan atas dasar moral / totem-taboo yang termanifestasikan dengan kehadiran AYAH sebagai halangan tujuan terhadap IBU (faktor kecemburuan), terkadang juga sekaligus AYAH sebagai tujuan baru, atau yang dikenal dengan fase Electra Complex. Fase keempat, Latency Stage, adalah fase penguasaan diri, fase perlawanan dan atau penguasaan keseluruhan bangunan psikis (Consciousness oleh Unconsciousness dan atau sebaliknya). Fase ini sering dikaitkan dengan fase pencarian jati diri yang sering terjadi pada remaja. Pada fase inilah muncul sebuah Defense Mechanism sebagai fungsi kontrol bangunan psikis. Fase kelima, Genital Stage, adalah fase tertinggi, fase penyempurnaan defense mechanism sebagai pertanda kedewasaan fikiran (sadar dan bawah sadar). Fase ini biasanya terjadi ketika manusia yang bersangkutan sudah mulai membentuk keluarga sendiri, dan mulai menjadi ayah atau ibu. Pasca fase ini, kondisi psikis akan mulai menurun lagi, membentuk reflecting mirror menuju Latency Stage hingga kembali ke Oral Stage.
Kata Oedipus dan Elektra diambil dari tokoh mitologi yunani. Oedipus adalah seorang anak laki-laki yang membunuh ayahnya sendiri Laius untuk menikahi ibunya Jocasta. Sementara itu Elektra adalah seorang anak perempuan yang membantu ayahnya Agamemnon membunuh ibunya.
Teori ini sendiri sebenarnya diilhami oleh kasus Little Hans, anak berusia 5 tahun yang menjadi pasien Freud dengan gejala awal hippophobia. Setelah menjalani beberapa terapi, Freud menyimpulkan bahwa phobia yang dialami little hans sebenarnya hanyalah ekses terhadap kecemburuannya terhadap ayah dan adik bayi perempuannya yang telah merenggut kasih ibu darinya.
Seperti layaknya tafsir mimpi, Psychosexual Complex juga menghadapi banyak gempuran anti thesis. Kasus Trobriand Islands yang ditangani oleh Malinowski-Reich dan Anti-Oedipalization yang diajukan oleh Gilles Deleuze dan FĂ©lix Guattari seringkali dipercaya sebagai tantangan ’kasus’ terbesar Oedipus-Electra Complex diluar tantangan ’teorema2’ kompleks Jung dan Adler.
Kasus Trobriand Islands
Kepulauan Trobriand (atau yang sekarang telah berubah nama menjadi kepulauan Kiriwana) adalah sebuah gugus archipelago bagian dari propinsi teluk Milne, Papua New Guinea. Pada awal perang dunia pertama seorang ilmuan bernama Bronislaw Malinowski datang kek kepulauan ini untuk melakukan studi antropologis. Jejaknya kemudian diikuti oleh Wilhelm Reich, seorang psikoanalis yang kemudian menulis buku The Invasion of Compulsory Sex Morality yang berisi tentang konsepsi alternatif2 penyimpangan Sexual Complex (Sigmund Freud) dilihat dari sudut pandang antropologi.
Menurut Reich, kelemahan utama Psychosexual Complex (dan Oedipus-Elektra Compex) terletak pada usulan figur pola hubungan ayah-ibu-anak yang terlalu sempit dan general. Dalam kondisi yang ekstrim, Reich bahkan membuktikan bagaimana di Trobriand Island hukum adat istiadat setempat mampu mengeleminir efek Psychosexual Complex sama sekali.
Pertama adat Trobriand melarang perkawinan incest antara saudara kandung atau anak dengan orang tuanya. Kedua untuk perkawinan antar keluarga dekat, adat Trobriand memiliki dua peraturan perkecualian. Aturan pertama, penduduk Trobriand dibagi dalam klan2 kesukuan dimana pernikahan hanya boleh terjadi antar suku yang berbeda (tidak boleh ada perkawinan di dalam suku yang sama). Aturan kedua, seorang anak akan menjadi anggota klan ibunya, sehingga pernikahan dengan keluarga dekat hanya diperbolehkan dengan keluarga dari ayah (beda klan).
Dari hasil penelitian tersebut diatas, Reich menyimpulkan bahwa pada kondisi2 tertentu sexual compolex dapat muncul secara antropologis dalam varian yang tidak terbatas. Sebagai contoh adalah kasus Trobriand. Karena seorang anak menjadi anggota klan ibunya, maka oedipus-electra complex tidak mungkin terjadi. Anak akan jauh lebih sering bersama ibunya, sehingga ia nyaris tidak akan pernah mengalami kecumburuan terhadap ayahnya. Norma masyarakat dalam bentuk yang paling dasarpun akhirnya ditanamkan oleh ibu seorang sehingga ibu-pun menjadi sosok ganda yang bersifat pengasih tetapi juga sekaligus pelarang. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidak seimbangan super-ego yang melahirkan masyarakat yang sangat2 patronistik terhadap sosok ’ke-ibu-an’ dalam klan seperti layaknya koloni semut terhadap ratunya.
Anti-Oedipalization
Teori Anti-Oedipalization mengambil kacamata power Michel Foucault dan will of power Friedrich Nietzsche yang meng-analogi-kan Oedipus-Electra Complex kedalam concept of power secara sosiologis.
Menurut Psysexual Complex, ibu adalah ‘faktor cinta pertama’ yang dikenal anak melalui prosesi pemberian asi (eksklusif-inklusif). Sementara itu ayah adalah faktor denial dasar, faktor yang memperkenalkan kepada anak ‘apa yang tidak boleh dilakukan’. Secara sosiologis, Anti-Oedipalization manganalogikakan ayah yang merupakan faktor denial (moral totem/taboo) awal sebagai source of power (seperti layaknya Tuhan pada agama dan raja pada monarki), dan Ibu yang merupakan cinta pertama sebagai source of guidance (kemudian menderifasikan wujud super ego-akan dijelaskan lebih lanjut). Pemahaman ini pada akhirnya mau tidak mau akan munculnya kutub positif dan negatif berpola baik-buruk/malaikat-iblis dalam pola hubungan ayah-ibu-anak, sebuah pola yang sebenarnya tidak selalu ada di dalam keluarga dan juga tidak selalu ada dalam kehidupan bernegara. Menurut Deleuze-Guattari, keberadaan Psychosexual Complex akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sebuah keluarga, sehingga kemungkinan eksesnya-pun akan menjadi sangat2 beragam, sebab kondisi keluarga yang satu bisa jadi sangat berbeda dengan keluarga yang lain.
Demikian juga kondisi negara yang satu bisa jadi sangat berbeda dengan kondisi negara yang lain. Di satu sisi, negara yang sudah mengalami titik kemakmuran (ekonomi) tinggi tidak akan mengalami guncangan denial (politik) sekuat negara dengan tingkat kemakmuran yang lebih rendah (karena society yang sudah cukup terpuaskan libido biologis-sexual-nya). Sehingga distribusi power yang terjadi di negara tipe pertama tidak akan sekuat negara tipe kedua. Besar kemungkinannya kalau will of power masyarakat di negara tipe kedua, juga akan menjadi jauh lebih kuat dari negara tipe pertama. Dilain sisi, hal ini kemudian melahirkan kondisi dimana negara dengan guncangan denial yang besar cenderung melahirkan masyarakat yang jauh lebih kuat secara psikologis. Dan bangsa dengan kondisi psikis masyarakat yang lebih kuat akan mampu menguasai bangsa yang sebaliknya, seperti layaknya bangsa2 besar peradaban kuno yang lahir dari will of war yang juga teramat kuat. Dan sejarah-pun membuktikan, bahwa setiap super power dalam satu masa tatanan dunia (world order), selalu lahir dari keberhasilan atau kegagalan perang baik didalam maupun diluar negeri tersebut.
Bila kondisi tersebut di counter-analogy-kan kembali ke analogi keluarga, maka keluarga dengan kondisi denial totem-taboo yang kuat, kalau berhasil menyempurnakan bangunan psikis anak2 mereka secara sempurna hingga titik phallic stage, akan melahirkan anak2 dengan bangunan psikis yang juga teramat kuat. Atau dengan kata lain, semakin banyak cobaan hidup yang berhasil dilalui oleh serang individu, maka semakin kuat pula bangunan kepribadian manusia tersebut. Sebuah konsepsi yang turut menjadi dasar pemikiran proyek ras unggul Arya-nya Hitler.
Terlepas dari kontroversi politis Anti-Oedipalization, Deleuze-Guattari justru membuktikan bahwa baik dalam tatanan keluaga maupun negara, kutub positif-negatif dalam pola hubungan triadik ayah-ibu-anak dan negara-agama-masyarakat memang benar2 ada, hanya tentunya dengan kadar yang berbeda-beda.
Id, Ego, Super-ego (Teori Struktural)
Sebagai pengembangan dari teori Topografi (Unconsciousness, Preconsciousness, Consciousness) dan Psycosexual Complex (Oral, Anal, Phallic, Latency, Genetial), Freud memperkenalkan Teori Struktural dalam bukunya ‘Beyond the Pleasure Principle’. Dalam teori ini, Freud kembali membagi fikiran manusia menjadi 3 bagian: Id, Ego, dan Super-ego, akan tetapi ketiga bagian ini bukanlah merupakan interpertasi lain dari Unconsciousness, Preconsciousness, Consciousness, walaupun ke-enam faktor tersebut memiliki hubungan paralel yang amat kuat. Tiga teori yang pertama adalah landasan Topografi, semacam pembagian klas berdasarkan sifat reproduksi pada hewan menjadi kelompok ovipar, vivipar, dan ovovivipar. Sementara tiga teori yang kedua adalah landasan Struktural, semacam pembagian klas berdasarkan struktur tubuh pada hewan verteberata menjadi kelompok pisces, amfibi, reptil, aves, dan mamalia. Kedua pembagian pada hewan diatas adalah dua pembagian yang berbeda, tetapi tetap saja seluruh hewan verteberata dan averteberata itu merupakan ovipar, vivipar, atau ovovivipar. Sebuah gambaran yang dapat menjelaskan hubungan antara teori Topografi dan Struktural Freud sering dikenal dengan istilah Iceberg Model.
Id adalah bagian dari alam bawah sadar (Unconsciousness) manusia yang berfungsi sebagai reservoir kebutuhan (needs) yang diderivasikan dari impuls2 dorongan primitive seperti kebutuhan2 biologis makan dan minum, serta kebutuhan2 seksual. Id bekerja secara dinamis dan instan pada jalur primer fikiran (primer karena kebutuhan Id biologis adalah kebutuhan2 untuk bertahan hidup). Impuls dari pemikiran Id selalu bersifat pleasure principle yang liar. Jalur pemikiran Id dapat dengan mudah dipahami pada fase Oral Stage, fase dimana Id masih menjadi penguasa tunggal seluruh bangunan fikiran.
Contoh: Seorang bayi merasa lapar. Lapar adalah kebutuhan primer biologis yang menghasilkan impuls fikiran jalur primer untuk segera merespon kebutuhan dengan menangis. Bayi yang lapar menangis secara instan tanpa perlu menunggu apakah ibunya sedang sibuk atau tidak, atau apakah makanan untuknya sudah siap disajikan. Tangisan ini juga bersifat dinamis, sehingga bayi akan terus menangis sampai ia mendapatkan makanan.
Id yang diderivasi dari kebutuhan seksual memiliki proses pemikiran yang jauh lebih kompleks. Pertama, kebutuhan seksual baru muncul ke alam sadar (Consciousness) pada fase Phallic Stage melalui pertarungan2 Oedipus-Electra Complex. Kedua pada masa ini Ego sudah sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan Id pada bangunan pemikiran yang disertai dengan semakin menguatnya perkembangan Super-ego dan Defence Mechanism (akan dijelaskan lebih lanjut) sebagai penasehat Ego. Sehingga fungsi2 Id pada masa ini menjadi tidak terlalu liar lagi dengan hadirnya sekian banyak faktor penyaring.
Ego pada manusia dewasa adalah penguasa alam sadar (Consciousness) dan jembatan transisinya (Preconsciousness). Ia adalah mediator antara dua kutub Id dan Super-ego (dan masyarakat luas) yang bertugas menciptakan titik kesetimbangan antara impuls2 primitive dengan hukum2 norma dan moralitas dalam proses pemenuhan kebutuhan2 Id. Ego memiliki perangkat Defence Mechanism yang membantunya dalam melaksanakan fungsinya sebagai basis reality-testing, impulse-control, motoric-coordination, judgment, affect tolerance, defence, synthesis of information, intellectual functioning, dan memory.
Dengan posisinya sebagai penguasa sekaligus mediator, Ego memiliki kecenderungan untuk MEMBANTU mengembangkan konsep SENSE OF SELF (Unconscious Self atau The Self) sebagai sosok asli kepribadian seorang individu. Ego adalah agen penyeimbang yang membantu memberikan karakter, batasan, dan yang terpenting, memberikan keinginan (wants) pada proses pembentukan The Self. Dalam bahasa latinnya, ego dapat diterjemahkan sebagai I mysef yang merunut pada sebuah konsepsi ke-aku-an.
Seperti halnya Id, Ego juga berkembang berdasarkan perkembangan Topografi seseorang. Ia mulai muncul dan berkembang pada fase Anal dan Phallic stages, dan mencapai puncak pengaruhnya pada fase Latency dan Genetial stages. Paska fase ini, Ego tetap menjadi penguasa fikiran, hanya saja kemampuannya untuk menjadi agen penyeimbang mulai terdekadensi dengan mulai memihak Id dan cenderung menjauhi Super-ego. Hal inilah yang kemudian membuat manusia usia lanjut kembali menjadi seperti anak2.
Super-ego adalah wujud ideal dari Ego. Sebuah konsepsi holistik yang bernaung di keseluruhan area Topografi fikiran (Consciousness, Preconsciousness, Unconsciousness). Ia adalah-bisikan2 moralitas yang berfungsi menjaga Ego dari konsepsi Id yang terlalu ke-aku-an. Karenanya, pada awal kemunculannya, Super-ego sering disebut dengan istilah Ideal of the Ego.
Super-ego muncul pertama pada fase Phallic stage sebagai ekses dari pertikaian Oedipus-Electra Complex. Ia muncul, karena pada saat inilah Id mulai menemukan denial dari pleasure principle-nya. Ibu sebagai obyek pleasure principle-nya mulai direbut oleh sosok ayah. Dan dari hubungan ibu-ayah inilah anak kemudian mulai mengenal peraturan2 keluarga. Denial dan peraturan2/norma yang didoktrinkan kemudian terakumulasi menjadi sosok Super-ego, sebuah sosok manusia sempurna yang menjadi the guardian angel manusia dewasa.
Dalam skala yang lebih besar, Freud juga mengajukan konsepsi Cultural Super-ego (sedikit mirip dengan konsep Collective Unconsciousness Jung, akan dijelaskan lebih lanjut), sebuah super Super-ego yang muncul pada fase Genital Stage. Ia adalah sosok arc angel, yang dilahirkan oleh konsepsi moralitas yang jauh lebih besar dan kuat dari sekedar peraturan2 keluarga. Hukum negara, dan ajaran agama adalah contoh dari faktor2 besar yang mampu memunculkan Cultural Super-ego. Faktor yang sedemikian kuatnya hingga mampu memunculkan rasa bersalah (guilt). Tetapi sesuai dengan namanya, kekuatan arc angel ini bervariasi sesuai dengan konsep budaya (culture) setempat.
Perbedaan level kekuatan Super-ego juga bisa ditemukan berdasarkan pembedaan gender. Super-ego yang dimunculkan oleh perumpamaan ayah yang merebut ibu, secara konseptual tidak akan terlalu berpengaruh pada anak perempuan (yang sebenarnya tidak terlalu tertarik pada ibunya). Hal ini menyebabkan doktrin2 ayah tidak terlalu mempengaruhi perkembangan psikis Super-ego anak perempuan, sehingga ia pun cenderung mengadopsi sifat yang kurang rasional, dan demikian sebaliknya dengan anak laki2. Karena itulah pria cenderung lebih bersifat rasional sementara wanita cenderung lebih bersifat perasa.
Seperti halnya Ego, pasca fase Genetial Stage, Super-ego mulai mengalami dekadensi kualitas (sementara Id tetap pada titik konsistensinya dalam menyampaikan dorongan2 primitif-nya). Hal ini sangatlah logis ketika kita memang menkonsepsikan Super-ego sebagai ekses dari Oedipus-Elektra Complex. Doktrin2 yang tersampaikan dari hubungan ayah dan ibu, secara otomatis mulai meluntur ketika manusia yang bersangkutan itu sendiri mulai menjadi ayah atau ibu (dan mulai menyampaikan doktrin pada anak2nya). Apalagi ketika subyek sampai pada di titik dimana mereka sudah tidak memiliki ayah dan ibu lagi. Pada masa ini Super-ego akan mulai kehilangan guardian angel-nya untuk bergantung hanya pada arc angel (yang cenderung bersifat lebih abstrak). Singkatnya, Super-ego mulai ber-metmorfosa menjadi The Self (I mysef) itu sendiri.
Bersama dengan Teori Topografi, dan Psychosexual Comples, Teori Struktural melengkapi bangunan inti Psikoanalisis Freud. Secara paralel, hubungan ketiganya dapat dijelaskan dengan apa yang sering disebut dengan istilah Evolusi Libido. Berawal dari Unconsciousness Id yang menguasai seluruh bangunan psikis manusia pada masa Oral dan Anal, perlahan-lahan Consciousness Ego mengabil alih di masa Phallic dan Latency dengan bantuan dorongan Super-ego. Keberhasilan proses coup de etat (penggulingan kekuasaan) bangunan psikis ditentukan pada masa Genetial. Dan keberhasilan transformasi akhir inilah yang kemudian membentuk kepribadian The Self masing-masing individu. Untuk menunjang keberhasilan proses ’pendewasaan’ ini, Freud mengajukan konsepsi Defence Mechanism sebagai alat bantu pengambilan keputusan oleh ego dari masa Phallic hingga Genetial.
Defence Mechanism
Defence Mechanism adalah sebuah bangunan fikiran sekunder pada alam sadar dan prasadar di bawah naungan Ego. Fungsinya adalah untuk membantu Ego dalam proses penyeimbangan Id - Super-ego. Penggunaan Defence Mechanism yang tidak seimbang dapat mengakibatkan terjadinya Anxiety (Ego Agresif - terlalu berpihak pada Id) atau Guilt (Regresif - terlalu berpihak pada Super-ego). Defence Mechanism terdiri dari beberapa metode manipulatif.
Denial terjadi ketika Unconsciousness melakukan penolakan terhadap kenyataan yang mengancam Ego. Contoh: seorang murid mendapatkan nilai buruk, kemudian ia berpikir bahwa nilai itu tidaklah terlalu penting.
Reaction Formation terjadi ketika alam sadar bereaksi terbalik (opposite) terhadap sifat alam sadarnya. Contoh: karakter Percy dalam film Green Mile muncul dalam wujud yang kasar padahal sebenarnya ia penakut dan pengecut.
Displacement terjadi ketika emosi dialihkan dari sesuatu yang bersifat berbahaya menuju sesuatu yang lebih aman. Contoh: Seseorang memukul bantal karena merasa kesal dengan orang lain.
Repression terjadi ketika seseorang secara sadar mengalami kejadian yang sangat traumatis hingga alam bawah sadarnya memaksa trauma ini keluar dari wilayah sadarnya. Contoh: seseorang yang mengalami war trauma cenderung bersifat pendiam tetapi sangat2 tempramental.
Supression terjadi ketika seseorang yang mengalami ketidak stabil-an alam bawah sadar tetapi secara sadar memaksa untuk tidak mengacuhkan ke-tidak stabil-annya. Contoh: seseorang yang mengalami split personality biasanya adalah orang yang state of naturenya berperilaku tenang walaupan bangunan psikisnya sedang mengalami goncangan hebat.
Psychological Projection terjadi ketika seseorang memproyeksikan impuls psikisnya pada orang/benda lain. Contoh: Alice tidak suka pada Bob, tetapi pada teman2nya Alice justru mengatakan bahwa Bob-lah yang tidak suka Alice.
Intellectualisation terjadi ketika seseorang yang mengalami guncangan hebat dengan sadar menerima apapun yang terjadi, mengambil hikmah, dan memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Rationalization terjadi ketika seseorang melakukan justifikasi logis terhadap sesuatu yang muncul dari proses psikis yang berbeda. Contoh: seorang pria sedang menonton film drama, ia meminta teman disebelahnya untuk meniup matanya dengan alasan ada debu yang masuk, padahal sebenarnya ia hanya secara emosional terbawa oleh alur cerita hingga ingin menangis.
Compensation terjadi ketika seseorang bertingkah berbeda untuk menutupi ketidak-mampuannya terhadap hal lain. Contoh: seseorang yang tidak bisa bermain musik tetapi justru berpenampilan seperti rockstar lengkap dengan mode pakaian, asesoris, dan tata rambutnya.
Sublimation terjadi ketika seseorang menyelaraskan impuls psikisnya dengan prilaku sosial disekitarnya. Contoh: Seorang mahasiswa yang jorok dan biasa berpenampilan ala punk ketika lulus dan diterima diperusahaan besar merubah penampilannya menjadi bersih dan rapi.
Prilaku Defense Mechanism juga sering diumpamakan sebagai hubungan sebab-akibat antara alam sadar dan bawah sadar. Karenanya Defence Mechanism memiliki dua kegunaan berbeda. Sebagai pisau bedah untuk memetakan kelemahan psikis kita masing2 (dengan mempelajari tipe2 mechanism mana yang sering kita lakukan), sekaligus obat untuk mengobati atau menyeimbangkannya (dengan mencoba untuk melakukan kebalikan dari mechanism2 negatif yang sering kita lakukan). Keberhasilan atau kegagalan utama (ultimate) fungsi Defence Mechanism berujung pada pengembangan insting Eros-Thanatos.
Eros-Thanatos
Eros adalah the life instinc. Ia adalah impuls aktif yang bertanggung jawab dalam mengembangkan dorongan2 kreatif, dan libido manusia. Eros hidup sejak era Oral Stage, tetapi baru mulai memiliki peran dalam bangunan psikis pada era Phallic Stage, yakni untuk membangunkan hasrat seksual yang lama terpendam.Thanatos adalah alter ego dari Eros, Ia adalah the death instinc. Ia adalah impuls yang mem-pasif-kan impuls2 Eros mengembalikannya ke states of calm dengan dalih kedewasaan. Thanatos biasanya muncul pasca era Genetial Stage setelah manusia mengalami masa kejayaannya dalam hidup. Ia bertanggung jawab terhadap terjadinya parabolic reflecting mirror yang terjadi pada manula.
Contoh yang paling mudah menggambarkan sifat dan fungsi Eros-Thanatos adalah apa yang terjadi pada manusia disekitar era Phallic stage. Pada masa ini, seseorang mulai membentuk keluarga. Bangunan psikisnya sudah mencapai titik kedewasaan untuk tidak menghiraukan Oedipus-Elektra Complex (karena sudah memiliki suami/istri/anak sehingga juga sudah menjadi ayah/ibu). Pada masa ini pula Ego telah mengambil penuh kekuasaan alam sadar. Karenanya pada masa ini, manusia mulai memikirkan goals. Ia ingin rumah besar, mobil bagus, karir yang terus menanjak, jabatan tinggi, gaji besar,dll. Ia menjadi ambisius, dan ini membuat semua bangunan psikisnya HIDUP. Tetapi setelah beberapa tahun berlalu, setelah ia merasa sudah melakukan segalanya atau sebaliknya belum melakukan apa-apa, setelah ia merasa sudah menggapai cita-citanya atau justru merasa gagal sama sekali, ia akan mulai berpikir sudah waktunya untuk yang muda untuk mengambil alih. Dan ia pun akan mulai menarik diri dari kehidupan duniawi, dan membentuk sebuah bangunan psikis yang pasif dan siap mati atau mempersiapkan kematian atau justru pasrah atau bahkan dalam kondisi yang paling ekstrim sudah tidak ingin hidup lagi (motif psikis untuk melakukan bunuh diri)

Sigmund freud
Id, Ego dan Superego berinteraksi misalnya bila manusia yang lapar telah menemukan makanan, namun makanan tersebut bukan miliknya, maka manusia akan kembali menggunakan Egonya untuk melakukan transaksi logis dengan berusaha menjadikan Pada masing-masing tahap tersebut, seseorang harus menyelesaikan tugas perkembangannya untuk membentuk kualitas ego yang dinginkan. 1. Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Dasar (0-1 tahun). Tahap awal dari perkembangan psikososial adalah.
ID merupakan libido murni; EGO : Satu kesatuan yang dapat dibedakan dari ID, sebagai kepribadian eksklusif. Karena peranannya dalam saluran sosial yang dapat dimengerti orang. 3. SUPER EGO : Struktur yang berkembang secara internal.

Manusia sebagai satu kepribadian yang mengandung 3 unsur yaitu :
Id. Yang merupakan struktur kepribadian yang paling primitive dan paling tidak nampak. Id merupakan libido murni, atau energi psikis yang menunjukkan cirri alami yang irrasional dan terkait masalah sex, yang secara instingtual menentukan proses-proses ketidaksadaran. Id tidak berhubungan dengan lingkungan luar diri, tetapi terkait dengan struktur lain kepribadian yang pada gilirannya menjadi mediator antara insting Id dengan dunia luar.
Ego. Merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id, seringkali disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam menghubgunkan energi Id ke dalam saluran osial yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Superego. Merupakan struktur kepribadian yang paling akhir, muncul kira-kira pada usia limat tahun. Dibandingkan dengan Id dan ego, yang berkembang secara internal dalam diri individu, superego terbentuk dari lingkungan eksternal. Jadi superego menunjukkan pola aturan yang dalam derajat tertentu menghasilkan control diri melalui sistem imbalan dan hukuman yang terinternalisasi.
Dari uraian diatas dapat mengkaji aspek tindakan manusia dengan analisa hubungan antara tindakan dan unsure-unsur manusia. Seringkali misalnya orang senang terhadap penyimpangan terhadap nilai-nilai masyarakat dapat diidentifikasi bahwa orang tersebut lebih dikendalikan oleh Id dibandingkan super-egonya. Atau seringkali aa kelainan yang terjadi pada manusia, misalnya orang yang berparas buruk dan bertubuh pendek berani tampil ke muka umum, dpat diterangkan dengan mengacu pada unsur nafs (kesadaran diri ) yang dimilikinya. Kesemuanya tersebut dapat digunakan sebagai alat analisa bagi tingkah laku manusia.

Riwayat hidup Sigmund Freud
Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Gerald Corey dalam “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy” menjelaskan bahwa Sigmund Freud adalah anak sulung dari keluarga Viena yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita. Dalam hidupnya ia ditempa oleh seorang ayah yang sangat otoriter dan dengan uang yang sangat terbatas, sehingga keluarganya terpaksa hidup berdesakan di sebuah aparterment yang sempit, namun demikian orang tuanya tetap berusaha untuk memberikan motivasi terhadap kapasitas intelektual yang tampak jelas dimiliki oleh anak-anaknya.
Sebahagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak mengalami bermacam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.
Sigmund Freud dikenal juga sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya, dan karya tersebut terkumpul sampai 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif pada usia senja. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya sebagai pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori serupa yang pernah dikembangkan.
Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.
Lima karya Freud yang sangat terkenal dari beberapa karyanya adalah: (1) The Interpretation of dreams (1900), (2) The Psichopathology of Everiday Life (1901), (3) General Introductory Lectures on Psichoanalysis (1917), (4) New Introductory Lectures on Psichoanalysis (1933) dan (5) An Outline of Psichoanalysis (1940).
Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara.
Persepsi tentang sifat manusia
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.
Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah.
Struktur Kepribadian
Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.
Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.
Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.
Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah: (1) apabila rasa id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya, (2) apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan (3) apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.
Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer.
Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.
Kesadaran dan ketidaksadaran
Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti: (1) mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri, (2) salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya, (3) sugesti pasca hipnotik, (4) materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan (5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.
Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
Kecemasan
Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.
Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral. (1) kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata. (2) kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan (3) kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.
Mekanisme pertahanan ego
Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah: (1) represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran, (2) memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik, (3) pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, (4) proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar, (5) penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”, (6) rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur, (7) sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi, (8) regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami, (9) introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain, (10) identifikasi, (11) konpensasi, dan (12) ritual dan penghapusan.

Perkembangan kepribadian
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.
Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun (dalam A.Supratika), yaitu: (1) tahap oral, (2) tahap anal: 1-3 tahun, (3) tahap palus: 3-6 tahun, (4) tahap laten: 6-12 tahun, (5) tahap genetal: 12-18 tahun, (6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja.
Aplikasi Teori Sigmund Freud Dalam Bimbingan
Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen (dalam Yusuf Gunawan) membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu (understanding-individu), (2) preventif dan pengembangan individual, dan (3) membantu individu untuk menyempurnakannya.
Memahami individu. Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseli, sehingga usaha preventif dan treatment tidak dapat berhasil baik.
Preventif dan pengembangan individual. Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha mencegah kemorosotan perkembangan anak dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangan anak melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.
Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia meliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Jadi dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan kepada konseli, sehingga metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.
Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.
Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.
Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang ikut mewarnainya sampai dewasa.” Selain itu seorang penyair menyatakan bahwa “Tumbuhnya generasi muda kita seperti yang dibiasakan oleh ayah-ibunya”.
Hadis dan syair tersebut di atas sejalan dengan konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil. Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan, karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu.
Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.
Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.


Fenomena “Oedipus Complex”

Diskusi hangat mengenai hal tersebut terjadi dalam sebuah kelas Psikologi pada saat membahas konsep oedipus
complex dan electra complex. Mahasiswa menjadi asyik membahas beberapa kasus yang mereka jumpai.

Menurut mereka, dibanding electra complex, tampaknya fenomena menyerupai oedipus complex lebih banyak terjadi.
Mereka ingin tahu bahwa cukup banyak pria dewasa yang masih bergantung pada ibunya, dan apakah itu dapat disebut
gejala oedipus complex.

Kompetisi dengan Ayah

Oedipus complex adalah istilah Sigmund Freud untuk menggambarkan kecenderungan anak laki-laki usia 3-5 tahun
(masa phallic) berkompetisi dengan ayahnya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibu; dan dorongan seksual
terhadap ibu dikendalikan karena rasa takut akan hukuman dari ayah. Pada anak laki-laki, ketakutan terhadap ayah tersebut
mewujud dalam ketakutan akan dipotong penisnya (castration complex).
Sementara itu, electra complex merupakan keadaan yang sama dengan oedipus complex, tetapi terjadi pada anak
perempuan.

Konsep oedipus complex dan electra complex merupakan bagian dari penjelasan Freud mengenai tahapan-tahapan
perkembangan kepribadian (dari lahir hingga akil balik) yang tidak lepas dari adanya libido.

Libido (dorongan erotis-biologis) menurut ahli Psikoanalisis ini tidak muncul secara mendadak pada masa pubertas,
melainkan sudah ada sejak lahir dan perwujudannya berbeda-beda menurut tahapan usia. Teori perkembangan dari Freud
ini disebut teori perkembangan Psikoseksual.

Dalam teori perkembangan tersebut dinyatakan bahwa seseorang dapat gagal mengatasi konflik yang terjadi dalam tiap-
tiap tahapan (oral, anal, phallic, latency, genital). Perkembangannya berhenti dalam tahap tersebut hingga dewasa. Jadi,
bila seorang anak pada masa phallic tidak berhasil mengatasi oedipus complex, akan terbawa terus hingga dewasa.

Namun, teori perkembangan Psikoseksual dari Freud tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh Psikoanalisis yang lain. Mereka
menolak anggapan libido merupakan hal yang mendasari perilaku dan perkembangan kepribadian. Memang, teori tersebut
dibangun Freud atas dasar kasus-kasus klinis yang ditanganinya sebagai psikiater, sehingga tidak mencerminkan
perkembangan individu yang normal.

Fenomena Anak Mami

Dalam memahami fenomena ”laki-laki anak mami”, kita tidak dapat begitu saja berpegang pada konsep oedipus complex
bila dipahami dalam konteks teori Freud (libido mendasari perilaku).

Kita tidak menafikan kenyataan bahwa kasus-kasus incest (hubungan seksual antara anak dan orangtua) terjadi dalam
masyarakat, tetapi gejala ”laki-laki anak mami” biasanya tidak sampai pada relasi, bahkan dorongan seksual.

Salah satu kasus adalah pria berusia 35 tahun yang baru saja menikah. Sebutlah namanya Jojo, dosen fakultas ekonomi
sebuah perguruan tinggi. Sang istri adalah mantan mahasiswanya. Proses menuju pernikahan berlangsung alot, meski
sebenarnya hubungan mereka telah menghasilkan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun. Pasalnya ibu Jojo kurang
merestui hubungan mereka.

Bagi ibu Jojo (didukung penuh oleh Jojo), meski merupakan wanita baik-baik, Juli (pasangan Jojo) bukanlah pilihan ideal
karena berasal dari ras yang berbeda. Juli harus merana sekian lama, membesarkan bayinya sendiri di sebuah kota kecil,
disokong oleh sang ayah yang sudah lanjut usia (ibunya sudah wafat).
Saat bayi lahir di rumah sakit, sempat terjadi rebutan antara keluarga Jojo dan Juli. Setelah mengetahui Juli melahirkan
bayi yang sehat dan menarik, keluarga Jojo mulai mendekati Juli dengan maksud agar mereka dapat memiliki anak
tersebut.

Akhirnya proses menuju perkawinan mulai dibicarakan meski Jojo selalu mengatakan sangat berat kalau harus menikahi
Juli. Sejak awal hubungan mereka terseok-seok. Jojo sering mengatakan Juli ”tidak ada apa-apanya” buat dia. Sebaliknya
ia selalu memuji ibu dan adik perempuannya. Ia bahkan sering melontarkan sumpah serapah penghuni kebun binatang
untuk Juli.

Juli sempat merasa sangat tidak berdaya dan takut menghadapi perkawinannya. Jojo mengharuskan keluarga Juli pun
patuh sepenuhnya pada rancangan ibu Jojo. Rencana Juli kuliah S2 (atas biaya sang ayah) dan membangun usaha
terancam batal karena ibu Jojo menginginkan Juli bekerja di kantor orang.

Sering ia mengajak berkonsultasi dengan rohaniawan, tetapi Jojo bilang, ”Semua konselormu nggak ada yang bener.”
Akhirnya Juli toh menemukan kekuatan. Meski pasangannya tetap berperilaku negatif, ia sudah cukup kuat dan mengerti
bagaimana menyikapinya. Itulah sebabnya ia memutuskan menikahi Jojo.

Sulit Mendapat Pasangan
Masih banyak kasus lain yang menunjukkan hubungan lekat ibu dengan anak lelakinya yang sangat eksklusif hingga
dewasa. Kasus lain yang unik terjadi pada pria lajang berusia 40-an tahun. Ia sulit menemukan jodoh karena terobsesi
akan ibunya. Ia terus menjadikan ibunya sebagai pusat hidupnya.

Setelah ibunya sakit, meskipun ada saudara-saudara lain yang dapat mengurus, ia tetap mengambil tanggung jawab,
termasuk memandikan. Ia memperlakukan ibunya seperti benda kesayangan yang mudah pecah, yang harus terus dijaga.
Sementara wanita lain yang sempat dekat dengannya dituntut untuk menjadi seperti ibunya.

Pria-pria yang tak sanggup lepas dari ibu umumnya sulit mendapatkan pasangan. Ia akan menuntut pasangannya sama
dengan ibunya. Mereka tidak mampu memberikan cinta secara dewasa karena sebenarnya mengalami fiksasi dalam
perkembangan, yakni tetap menjadi anak-anak yang memerlukan kasih sayang dan perlindungan dari ibunya.
Dalam menjalin hubungan cinta dengan wanita lain, cinta yang diberikannya berupa cinta kanak-kanak yang masih bersifat
egoistis. Konflik akan sering terjadi bila hubungan dengan pria semacam itu dilanjutkan ke jenjang perkawinan.

kalo ga salah kata freud

semakin keras benturan antara ID dan Super Ego, maka ego akan tersimpan di alam bawah sadar, jadi terpendam ga bisa disalurin dan itu yg bikin trauma. trus si freud menyimpulkan otak manusia punya ruangan khusus untuk menampung ego yg terpendam itu krn kebanyakan dan harus keluar jadilah sakit jiwa atau histeria.


Masalah kesehatan berkaitan erat dengan masalah kepribadian, atau lebih tepatnya inti persoalan kesehatan mental adalah menyangkut masalah kepribadian, yakni kepribadian yang sehat atau kepribadian yang tidak sehat. Sementara itu, secara konseptual inti persoalan kepribadian berkaitan dengan konsep ego. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan konsep ego menurut Sigmund Freud dan Muhammad Iqbal, serta untuk mengetahui dan mendeskripsikan segi-segi persamaan dan perbedaan konsep ego menurut Sigmund Freud dan Muhammad Iqbal dilihat dari perspektif kesehatan mental.

Dilihat dari jenisnya, kajian ini merupakan kejian pustaka. Karena itu, sumber datanya adalah berupa bahan-bahan pustaka (buku-buku). Sedangkan dilihat dari sifatnya, kajian ini merupakan kajian kualitatif. Sesuai dengan jenisnya, maka pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research), yang pelaksanaannya meliputi dua langkah, yaitu langkah bibliografi kerja dan bibliografi fungsional. Sedangkan analisis data menggunakan metode deskriptif-analitis dan metode komparasi.

Dari kajian yang dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa, menurut konsep Freud, ego adalah sebuah komponen di antara tiga komponen struktur psikis dan kepribadian manusia. Dua komponen lainnya adalah id dan superego. Fungsi ego dalam struktur psikis dan kepribadian ialah menengahi dan mengatur tarik-menarik antara dorongan- dorongan id yang berisi naluri-naluri yang menghendaki kesenangan (kepuasan) dan tuntutan-tuntutan superego yang berisi idealitas-idealitas moral yang mengharuskan kesempurnaan. Dalam menjalankan fungsinya itu ego berpegang kepada prinsip realitas benda-benda maupun realitas nilai-nilai sosial. Ego dalam pengertian ini tidak identik dengan kepribadian serta tidak bisa disamakan dengan "aku". Sementara itu, dalam konsepsi Iqbal, ego adalah suatu kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia, serta mengorganisasikan berbagai kemampuan tak terbatas dalam fitrah manusia. Ego menurut konsep Iqbal adalah identik dengan kepribadian seutuhnya dan dapat disamakan dengan "aku", sepanjang konsep "aku" menunjuk kepada dimensi rohaniah, mental, dan psikologis individu. Mengenai segi persamaan konsep ego menurut Freud dan Iqbal dilihat dari perspektif kesehatan mental adalah keduanya sepakat bahwa mental yang sehat bertumpu pada ego yang kuat, sementara ego yang lemah mengandung resiko atau rentan terhadap gangguan mental. Sedangkan segi perbedaan pandangan mereka adalah bahwa, bagi Freud, penyakit mental yang timbul akibat ego yang lemah adalah penyakit mental yang bersifat psiko-somatis; sementara bagi Iqbal, penyakit mental yang mungkin timbul akibat ego yang lemah adalah mental yang bersifat psiko-sosial.